Tengahviral.com, Jakarta – Setiap musim panas, suara tonggeret atau cicada kerap menjadi penanda datangnya fajar. Serangga yang dikenal di Jawa dengan sebutan garengpung atau kinjeng tangis ini ternyata tidak bersuara secara acak.
Penelitian internasional terbaru menemukan bahwa cicada memiliki kemampuan luar biasa dalam menyelaraskan nyanyiannya dengan momen cahaya tertentu di pagi hari.
Riset tersebut mengungkap bahwa koloni cicada mulai bernyanyi dengan sangat presisi ketika posisi matahari berada pada 3,8 derajat di bawah cakrawala, tepat di fase yang disebut fajar sipil (civil twilight). Pada waktu ini, langit mulai cerah namun matahari belum benar-benar terbit.
Temuan ini menjadi bukti bahwa nyanyian tonggeret bukan hanya sekadar insting terhadap terang atau gelap, melainkan respons yang terukur terhadap intensitas cahaya yang sangat spesifik. Hasil penelitian dipublikasikan dalam jurnal Physical Review E oleh tim ilmuwan dari India, Inggris, dan Israel setelah melakukan pengamatan di dekat Bangalore, India.
Sinkronisasi Nyanyian yang Tepat Waktu
Dalam studi tersebut, peneliti merekam suara cicada selama beberapa minggu untuk mempelajari pola nyanyiannya. Hasilnya menunjukkan bahwa koloni cicada mampu mencapai volume maksimal dalam waktu kurang dari satu menit setelah ambang cahaya tertentu tercapai.
Profesor Raymond Goldstein dari University of Cambridge menjelaskan:
“Kita sudah lama tahu hewan bereaksi terhadap matahari terbit atau perubahan musim, tapi ini pertama kalinya kita bisa mengukur seberapa presisi tonggeret menyelaraskan diri pada intensitas cahaya tertentu – dan hasilnya mencengangkan.”
Lebih lanjut, peneliti menemukan bahwa tonggeret sangat peka terhadap cahaya dengan intensitas sekitar 4–6 lux, dengan toleransi kesalahan hanya 25 persen. Faktor lain seperti suhu dan kelembapan ternyata tidak berpengaruh besar pada waktu nyanyian mereka.
Keputusan Kolektif dalam Dunia Serangga
Fenomena unik lain yang ditemukan adalah cara tonggeret “memutuskan” untuk mulai bernyanyi. Dengan teknik pemrosesan sinyal, peneliti melihat bahwa perubahan suara tonggeret mengikuti pola kurva sigmoid: dari hening menjadi riuh dalam waktu singkat.
Tonggeret juga saling mendengarkan satu sama lain. Jika satu mulai bersuara, peluang tonggeret lain ikut menyusul meningkat tajam. Proses ini mirip dengan sinkronisasi cahaya kunang-kunang atau pola kawanan nyamuk.
Tim peneliti bahkan menyusun model statistik berdasarkan teori magnetisme, menggambarkan setiap cicada seperti partikel “spin” yang dipengaruhi cahaya serta aktivitas tetangganya. Hasilnya menunjukkan adanya kecerdasan kolektif: saat interaksi antar-individu cukup seimbang, sinkronisasi sempurna tercipta.
“Dengan bekerja sama, mereka bisa memperkuat sinyal cahaya yang lemah dan bereaksi dengan cepat dan akurat,” tulis para peneliti dalam laporannya.
Makna Lebih Luas dalam Kehidupan
Penelitian tentang tonggeret ini memberi gambaran baru mengenai perilaku kolektif dalam dunia biologis. Mekanisme serupa juga ditemukan pada koloni semut yang mencari tempat tinggal, burung yang terbang berkelompok, hingga perilaku manusia di pasar saham.
Profesor Goldstein menambahkan, “Pengamatan Rakesh membuka jalan menuju pemahaman kuantitatif tentang perilaku kolektif yang menakjubkan ini.”
Dari sudut pandang ilmiah, tonggeret mengajarkan bahwa keputusan terbaik kerap muncul dari harmoni kolektif, bukan dari individu semata.(*)