Tengahviral.com, Jakarta – Seorang mahasiswi berprestasi dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) hampir sempurna membagikan kisah nyata yang kini tengah ramai di media sosial. Meski berhasil lulus dengan predikat cumlaude, kenyataan setelah wisuda ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Pengalaman ini menjadi sorotan publik karena menggambarkan tantangan nyata yang dihadapi banyak lulusan muda di Indonesia yang berjuang mencari pekerjaan setelah meraih prestasi akademik tinggi.
Dalam video yang diunggah di akun TikTok miliknya, pengguna dengan nama @eleanoraazz tampak bahagia ketika dirinya dipanggil ke podium untuk menerima penghargaan cumlaude saat wisuda. Dengan IPK 3,9 dan waktu kuliah hanya 3,5 tahun, ia termasuk dalam tujuh besar lulusan dengan nilai tertinggi di program studinya. Namun, kebahagiaan itu berubah menjadi keprihatinan ketika ia mulai menghadapi realitas dunia kerja yang jauh dari ekspektasi.
Kisah tersebut menggugah banyak pihak karena memperlihatkan bahwa nilai akademik tinggi tidak selalu menjadi jaminan untuk segera mendapatkan pekerjaan. Dalam unggahan videonya, ia menulis, “Ternyata life after graduate lebih menyeramkan daripada skripsian, nyari kerja nggak segampang itu,” sambil menandai akun resmi @kemnaker, seolah meminta perhatian pemerintah terhadap situasi tersebut.
Lulusan Cumlaude Masih Menganggur Setelah Lima Bulan Wisuda
Dalam unggahannya yang viral di TikTok, Eleanora mengaku sudah lima bulan sejak wisuda namun belum juga mendapatkan pekerjaan. Unggahannya menuai perhatian luas dengan lebih dari 70 ribu likes dan 13 ribu komentar dari warganet yang ikut berbagi pengalaman serta pandangan mereka terhadap kondisi dunia kerja saat ini.
Banyak yang merasa kisah tersebut mencerminkan realita yang kini dihadapi banyak lulusan muda di Indonesia. Di tengah ketatnya persaingan dan terbatasnya lapangan kerja, prestasi akademik yang gemilang sering kali belum cukup untuk membuka jalan menuju karier yang stabil.
Beberapa komentar dari warganet bahkan menyebut bahwa faktor relasi, pengalaman, dan kemampuan sosial kerap menjadi penentu utama dalam proses rekrutmen, bukan semata-mata nilai akademik.
Warganet Ungkap Pengalaman Serupa di Dunia Kerja
Komentar yang membanjiri unggahan Eleanora menunjukkan beragam pandangan dan pengalaman pribadi para warganet. Seorang pengguna bernama Chocoball menulis, “Percuma pintar kalau nggak punya relasi, selama kuliah harus banyak bergaul dan bangun jaringan. Yang paling penting itu, harus punya ‘orang dalam’.”
Sementara akun Dhanywardhana mengungkapkan pengalaman berbeda. Ia menulis, “Saya kuliah tujuh tahun, IPK cuma 2,1, sempat ditolak banyak perusahaan. Akhirnya kerja jadi sopir, dapat relasi, belajar dunia usaha, sekarang punya banyak karyawan.”
Ada pula komentar dari Irwan Utami yang menyoroti efektivitas kuliah dalam konteks ekonomi keluarga. “Anak saya dua laki-laki lulusan SMK, langsung kerja di pabrik dengan gaji tujuh juta. Ngapain kuliah buang-buang uang kalau ujungnya kerjaan nggak sesuai harapan,” tulisnya.
Perspektif HR dan Dunia Industri: IPK Tinggi Belum Tentu Cocok
Salah satu komentar yang banyak menarik perhatian datang dari pengguna dengan nama Ian Aja, yang mengaku bekerja di bidang sumber daya manusia (HR). Ia menulis, “Saya sebagai HR, jujur, tidak selalu mau menerima lulusan dengan IPK 3,6 ke atas. Biasanya terlalu kaku dengan aturan dan sulit ambil keputusan cepat. Mereka juga cenderung berharap gaji dan jabatan tinggi sejak awal.”
Pernyataan ini memicu perdebatan di kolom komentar, di mana sebagian pengguna menilai bahwa perusahaan seharusnya tetap memberi kesempatan kepada lulusan berprestasi untuk membuktikan kemampuan mereka di dunia kerja. Namun, sebagian lain menilai bahwa kemampuan adaptasi dan fleksibilitas memang lebih penting daripada sekadar prestasi akademik.
Pandangan Publik: Pendidikan vs Kenyataan Lapangan
Sejumlah warganet lain menilai bahwa sistem pendidikan di Indonesia perlu menyesuaikan diri dengan kebutuhan industri modern. Akun mars menulis, “Mungkin memang bukan waktunya kamu mencari kerja. IPK-mu terlalu bagus untuk jadi bawahan, saatnya kamu yang menciptakan lapangan kerja.”
Komentar lain datang dari chicken, yang menyoroti lemahnya peran kampus dalam menjembatani mahasiswa dengan dunia kerja. “Pihak kampus seharusnya punya koneksi dengan perusahaan agar lulusan berprestasi bisa langsung mendapat peluang kerja,” tulisnya.
Akun mimiels, yang juga mengaku sebagai lulusan terbaik dengan IPK 3,98, turut berbagi kisah senada. “Sekarang masih cari kerja, sering gagal di tahap interview. Doain semoga lolos user interview,” tulisnya, menunjukkan bahwa tantangan serupa juga dialami banyak lulusan berprestasi lainnya.
Fenomena Sosial: Realita “Overqualified” di Dunia Rekrutmen
Fenomena yang dialami Eleanora juga mencerminkan istilah “overqualified” yang kerap terjadi dalam dunia kerja. Beberapa HR menilai bahwa kandidat dengan prestasi akademik terlalu tinggi bisa dianggap sulit diarahkan, cepat bosan, atau terlalu menuntut posisi tertentu.
Akun ayewe, yang mengaku sebagai recruiter, menulis, “Saya cenderung memilih kandidat dengan IPK antara 2,75 sampai 3,5. Yang terlalu tinggi biasanya susah menerima masukan dan mudah pindah kerja.”
Pandangan ini menyoroti dilema klasik antara kualifikasi akademik dan kebutuhan praktis perusahaan. Banyak perusahaan lebih mengutamakan kemampuan komunikasi, kerja tim, dan pengalaman lapangan ketimbang nilai akademik semata.
Realita Dunia Kerja dan Harapan Generasi Muda
Kisah Eleanora menjadi refleksi sosial yang penting di tengah meningkatnya jumlah lulusan perguruan tinggi setiap tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran terbuka di kalangan lulusan universitas masih cukup tinggi, sebagian karena ketidaksesuaian antara bidang studi dan kebutuhan industri.
Meski demikian, banyak pakar karier menekankan bahwa IPK tinggi tetap bernilai penting, terutama sebagai bukti konsistensi dan kedisiplinan. Namun, mereka juga mengingatkan bahwa lulusan baru perlu melengkapi diri dengan soft skills, pengalaman organisasi, dan jejaring profesional untuk meningkatkan daya saing di pasar kerja.
Beberapa universitas kini mulai memperkuat kolaborasi dengan dunia industri untuk menyediakan program magang dan rekrutmen langsung bagi lulusan berprestasi. Langkah ini diharapkan bisa menjadi jembatan antara prestasi akademik dan kebutuhan dunia profesional yang dinamis.
Kisah viral lulusan cumlaude ini menjadi cermin bagi banyak pihak—baik mahasiswa, kampus, maupun perusahaan—untuk memahami bahwa kesuksesan karier tidak hanya bergantung pada nilai tinggi, tetapi juga pada kemampuan adaptasi, jejaring, dan kesiapan menghadapi tantangan dunia kerja yang terus berubah.
Apapun pandangan publik terhadap kisah ini, satu hal yang pasti: dunia kerja saat ini menuntut lebih dari sekadar kecerdasan akademik. Dibutuhkan ketahanan mental, kemampuan komunikasi, serta semangat belajar berkelanjutan agar bisa bertahan dan berkembang di tengah persaingan global.(*)
